Risiko Bahaya Artificial Intelligence

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan teknologi penting di masa kini dan masa depan. Namun, tidak sedikit yang yang menganggap ada bahaya yang mungkin terjadi dari AI. Contohnya Elon Musk, bos Tesla, menganggap AI lebih bahaya ketimbang nuklir.

Bertambahnya Pengangguran

Pengangguran terjadi karena lapangan pekerjaan yang diisi oleh kecerdasan buatan.

Brookings Institution menyebutkan, akan ada 36 juta orang yang pekerjaannya rawan digantikan oleh otomatisasi. Lalu setidaknya ada 70% dari pekerjaan mereka, sepertid dibidang penjualan, analisis pasar, sampai pekerjaan di gudang, bisa dilakukan oleh AI.

John C. Havens berpendapat bahwa, meskipun kehadiran AI disebut bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru, namun tidak seimbang dengan jumlah pekerjaan yang dihilangkan AI.

Havens, memberi contoh perusahaan konsultan hukum yang menggunakan software bernilai USD 200 ribu yang bisa menggantikan posisi 10 orang, dengan gaji USD 100 ribu. Artinya perusahaan bisa menghemat USD 800 ribu.

Selain penghematan, terjadi peningkatan produktivitas sebesar 70%, dengan tingkat kesalahan hanya 5%.

Pelanggaran privasi

Contoh paling jelas adalah pemerintah China memanfaatkan teknologi pengenal wajah untuk mendeteksi pergerakan warganya, baik itu di kantor, sekolah, ataupun berbagai tempat publik lainnya.

Deepfake

Deepfake adalah salah satu produk AI, untuk mengubah wajah dan suara dalam sebuah video. Saat ini teknologi deepfake semakin canggih hingga sulit membedakan mana video hasil deepfake atau video asli.

Bias algoritma dan kesenjangan sosial

AI pun bisa bias terhadap hal tertentu karena, AI dikembangkan oleh manusia yang pada dasarnya bisa bias terhadap suatu hal.

Berikut menurut Profesor Ilmu Komputer dari Universitas Princeton Olga Russakovsky,

“Peneliti AI umumnya adalah laki-laki, dengan demografis suku bangsa tertentu, yang tumbuh di area sosial ekonomi tinggi, dan kebanyakan orang-orang tanpa disabilitas. Kami kebanyakan homogen, yang menjadi tantangan untuk berpikir secara luas terhadap masalah di dunia,” ujar Russakovsky.

Berikut menurut peneliti Google, Timnit Gebru, bahwa sumber dari bias adalah sosial, bukan teknologi.

“Karena kami punya ilusi atas objektivitas,” ujarnya. Padahal menurutnya ilmuwan harus bisa mengerti dinamika sosial dunia, dan karena perubahaan radikal di dunia berada pada level sosial.

Otomatisasi senjata

Untuk mencegah terjadinya otomatisasi senjata, lebih dari 30 ribu peneliti AI dan robotik, serta pihak lainnya, menandatangani surat terbuka untuk tidak mengembangkan senjata berbasis AI pada 2015 lalu.

“Pertanyaan utama untuk manusia hari ini adalah apakah kita akan memulai pembuatan senjata berbasis AI secara global atau melindunginya agar tidak dimulai,” tulis mereka.

Jika ada kekuatan militer utama yang memulai pengembangan senjata berbasis AI, maka perlombaan pengembangan senjata AI tak bisa dielakkan lagi. Dan hal ini sudah terjadi, yaitu saat militer AS mengajukan anggaran belanja 2020 sebesar USD 718 miliar, di mana USD 1 miliar di antaranya akan dipakai untuk pengembangan AI dan machine learning.

Sharing is caring:

Leave a Comment